Oleh Ir. H. Muhammad Umar Alkatiri
Tanggal 12 Oktober 2002, tepat
satu tahun lebih satu bulan lebih satu hari setelah peristiwa 11
September 2001 (atau biasa dikenal dengan sebutan WTC 911 yang terjadi
di Amerika Serikat), terjadi ledakan dahsyat di Bali. Tiga tahun
kemudian, 01 Oktober 2005, terjadi lagi ledakan di pulau yang sama
dengan titik lokasi kejadian berbeda.
Bila diperhatikan jarak Bom
Bali pertama dengan kedua berselang tiga tahun, ada yang
mengkhawatirkan jangan-jangan di tahun 2008, khususnya di bulan Oktober
ini, akan terjadi ledakan serupa di pulau yang sama. Namun
Alhamdulillah, sampai saat tulisan ini dibuat, kejadian seperti tahun
2002 dan 2005 itu tidak terjadi.
Bali sejak awal 1970-an telah
menjadi pulau pariwisata. Namun, industri pariwisata yang berkembang di
Bali sama sekali tidak bertitik tolak dari eksotika budaya Bali, tidak
sekedar menjual keindahan Bali dengan segala kehidupannya yang
bernapaskan Hindu. Tetapi, pariwisata di Bali adalah industri yang
menjajakan seks bebas, drug, narkoba, perjudian, dan segala bentuk
maksiat lainnya. Di samping itu, industri pariwisata di Bali tidak
menghormati tempat-tempat suci umat Hindu Bali. Contohnya, laut menuju
Pulau Serangan dengan Pura Sakenan warisan Danghyang Nirartha ditimbun
investor, sehingga orang Bali tidak lagi bisa berkunjung untuk menjalani
ritual ke Pura Sakenan. Selain itu, di seberang Pura Tanah Lot dibangun
lapangan golf dan hotel mewah Nirwana Resort.
Ironisnya lagi,
kontribusi dunia pariwisata terhadap upaya pemeliharaan tempat-tempat
suci orang Hindu di Bali, amat tidak signifikan. Barangkali, inilah
hasil yang dipetik dari diterapkannya pluralisme dan toleransi ala Bali
sejak 1970-an.
Bahkan di Bali ada café khusus yang hanya boleh
dimasuki wisatawan asing. Untung saja di café tersebut pada pintu
masuknya tidak tertulis pesan berupa: Khusus Turis Mancanegara, Pribumi
dan Anjing Dilarang Masuk! Dari Bali, seharusnya kita sudah bisa melihat
dan merasakan betapa harga diri bangsa kita direndahkan, dengan alasan
menghormati tamu (turis mancanegara) yang menyumbangkan devisa.
Anak-anak bangsa kita menjadi pelayan bagi turis-turis mancanegara yang
sebagian besar di negara asalnya hanya berasal dari kelas sosial
rendahan, seperti sopir truk dan sejenisnya.
Kalau tragedi Bom
Bali merupakan reaksi sebagian orang atas nama mujahid Islam terhadap
kasus pembantaian di Tobelo-Galela (dan Maluku pada umumnya), juga
merupakan reaksi terhadap aksi pembantaian di Pesantren Walisongo (dan
Poso pada umumnya), mengapa Bali yang dijadikan pilihan? Bukankah di
Bali penganut agama Kristen-Katholik hanya minoritas belaka? Bukankah di
Bali mayoritas penduduknya beragama Hindu?
Kalau yang dijadikan
alasan adalah melawan Amerika, mengapa korban yang jatuh kebanyakan
warga Australia? Pada Bom Bali pertama, korban terbesar berasal dari
Australia, dan hanya sekitar 7 orang saja yang warga negara Amerika
Serikat. Pada Bom Bali kedua, dari 20 korban tewas, lima belas di
antaranya adalah warga negara Indonesia; sedangkan dari seratus lebih
korban luka-luka, sebagian besar (atau sekitar 67 orang) berasal dari
Indonesia. Warga negara Amerika Serikat yang luka-luka hanya empat
orang.
Kalau yang dijadikan alasan adalah melawan Amerika dan
sekutunya, seharusnya ledakan bom itu di sana: di Amerika, di Australia,
di Inggris, dan sebagainya. Bukan di Bali!
Mengapa Bali? Apakah
karena para pelaku Bom Bali itu begitu ‘terkesan’ dengan sikap orang
Bali yang sedikit-sedikit gemar mengumbar ancaman kosong berupa akan
memisahkan diri dari NKRI? Apakah ini menunjukan bahwa orang Bali tidak
loyal kepada NKRI, sehingga perlu diberi ‘pelajaran’ menurut pandangan
para pelaku Bom Bali? Wallahu’alam.
Mengumbar ancaman
Masih
ingat ketika orang Bali pada Januari 2000 turun ke jalan dan mengumbar
ancaman akan memisahkan diri dari NKRI, ‘hanya’ karena AM Saefudin
mempertanyakan agama Megawati yang –sebagaimana diberitakan The Jakarta
Post– terlihat sedang bersembahyang di salah satu Pura di Bali?
Megawati
yang beragama Islam bersembahyang di Pura, tentu merupakan sembahyang
politik. Artinya Megawati telah dengan sengaja mempolitisasi sembahyang
(ritual agama Hindu) untuk kepentingan politiknya, yaitu dalam rangka
mencari simpati masyarakat Bali untuk memilih partainya.
Berdasarkan
logika akal sehat, seharusnya masyarakat Hindu di mana pun berada
–terutama yang berada di Bali– marah kepada Megawati, karena ritual
keagamaannya dimain-mainkan oleh politisi. Namun kenyataannya, orang
Bali justru marah kepada AM Saefudin, dan bahkan mengumbar ancaman mau
memisahkan diri dari NKRI. Ancaman serupa itu juga terjadi di tahun 2006
dan 2008 demi menolak RUU APP yang kini menjadi RUU Pornografi.
Orang
Bali menolak RUU APP (atau RUU Pronografi), dengan alasan demi menjaga
keragaman dan kesatuan yang ada pada bangsa Indonesia, sekaligus untuk
melawan pemaksaan kehendak kelompok Islam karena RUU Pornografi itu
dinilai membawa aspirasi agama tertentu (Islam). Benarkah demikian?
Faktanya,
pada semester kedua tahun 2006, terjadi kasus pemaksaan mengucapkan
salam dengan tata cara agama Hindu terhadap anggota DPRD Bali beragama
Islam (dari PPP), sebagaimana dilakukan oleh I Made Kusyadi dari Fraksi
PDIP. Kusyadi ketika itu berdalih, bahwa salam Hindu sedang
diperjuangkan anggota DPD asal Bali menjadi salam nasional. Alasan ini
jelas mengada-ada, karena sejauh ini tidak ada satu bentuk salam dari
agama tertentu yang sedang diperjuangkan menjadi salam nasional.
Tindakan Kusyadi merupakan bentuk nyata dari politisasi agama, dan
menunjukkan bahwa politisi kader PDIP itu belum dewasa, cenderung
sektarian dan arogan.
Kalau Bali benar-benar memisahkan diri dari
NKRI, apakah akan lebih baik lagi keadaannya? May be yes, may be no.
Soalnya, pada saat masih menjadi bagian dari NKRI saja, orang Bali
seperti koeli di kampungnya sendiri. Bagaimana kalau mereka berpisah
dari NKRI? Apalagi, ketergantungan Bali terhadap orang-orang di luar
Bali begitu tinggi. Pelaku bisnis di Bali, sebagian besar berasal dari
luar Bali. Termasuk pelaku bisnis di kaki lima dan pasar tradisional,
sebagian berasal dari luar Bali (terutama Jawa dan Lombok). Bahkan,
untuk memenuhi keperluan ritualnya, pasokan janur, telur bebek (itik),
kelapa dan berbagai kembang dipasok dari Jawa Timur. Jika Bali berpisah
dari NKRI, jangan-jangan nasibnya tidak lebih baik dari Timor Timur
(Timor Leste).
Pada harian BERITA KOTA edisi 17 Maret 2006
(halaman 5), seorang putra Bali yang berdomisili di Pasar Minggu,
Jakarta Selatan, menuliskan opininya berjudul Bali Bukan Pulau Maksiat,
sebagai berikut:
BAGI mereka yang masih ingat pelajaran
sekolah dasar (SD), khususnya tentang Bali, pastilah masih terngiang
dengan istilah Subak, yaitu sistem pengairan sawah berjenjang khas Bali
yang menjadi salah satu nilai tambah orang Bali.
Pada dasarnya masyarakat Bali adalah agraris sekaligus artistik. Sawah dan kesenian adalah ciri khas Bali.
Sebelum
Orde Baru lahir, Bali mulai mengalami penjajahan kultural, yang
menggeser kebiasaan masyarakatnya dari bertani dan berkesenian menjadi
pelayan orang asing dengan kedok pariwisata.
Neokolonialisasi
yang dialami rakyat Bali justru dianggap sebagai berkat terselubung,
baik oleh petinggi agama Hindu, tokoh adat, maupun rakyat pada umumnya.
Karena faktor dolar, maka penjajahan bentuk baru ini justru dinikmati
dan disyukuri karena dapat menjadi sumber pendapatan utama kawasan Bali.
Rakyat
Bali yang sudah tergadaikan harga dirinya ini, masih pula bersikap
sombong, yaitu gemar menebarkan ancaman mau memisahkan diri. Padahal,
jika Bali lepas dari NKRI, akan semakin leluasa dijadikan obyek
eksploitasi dan perbudakan oleh bangsa asing. Sekian dasawarsa telah
membuktikan bahwa masyarakat Bali sangat mudah ditaklukkan (dijajah),
setidaknya berupa penjajahan kultural melalui pariwisata.
Pariwisata
yang lekat dengan maksiat, memang kawasan yang mudah mendatangkan uang.
Tanpa kerja keras, dolar mengalir deras. Masyarakat Bali seperti artis
muda yang sedang laris, uang datang dengan mudah sehingga lupa diri dan
hidup berfoya-foya.
Kelak, Bali akan memasuki usia tua dan
sakit-sakitan sehingga tidak diminati turis. Misalnya, akibat diterjang
bencana alam yang dahsyat atau penyakit kotor yang mematikan sebagai
dampak negatif dari industri pariwisata.
Bagi para tetua Bali,
kerinduan akan Bali yang agraris adalah kerinduan yang tak mungkin
terwujud. Kini, masyarakat Bali lebih senang dan bangga menjadi pelayan
orang asing, lebih senang hidup dan menjadi bagian dari industri
maksiat. Padahal, asal-muasal Bali bukanlah Pulau Maksiat tapi Pulau
Dewata. (Putu Yasa, Pasar Minggu, Jakarta Selatan)
Namun
demikian, memang sangat pantas bila orang Bali marah kepada Ali Ghufron
bin Nurhasyim alias Mukhlas, Amrozi bin Nurhasyim, Imam Samudra alias
Abdul Azis, dan Ali Imron bin Nurhasyim alias Ale. Mungkin orang Bali
menghendaki agar eksekusi mati atas diri mereka segera dilaksanakan.
Tapi,
mohon dimengerti juga bila ada orang Bali yang justru ‘berterimakasih’
kepada mereka, karena sakit hatinya terlampiaskan. Sakit hati yang
timbul karena salah seorang anak mereka pernah menjadi korban pengidap
paedophilia. Sakit hati yang ditimbulkan oleh rasa kesal dan benci
karena tempat-tempat suci mereka diinjak-injak turis asing. Sakit hati
yang timbul karena anak-anak mereka menjadi kurir narkoba, pengguna
narkoba, dan sebagainya.
Orang Bali yang bersikap seperti itu
memang amat sangat sedikit sekali alias minoritas. Nah ini merupakan
kesempatan bagi para pendukung minoritas seperti Gus Dur untuk membela
mereka. Soalnya, Gus Dur khan selama ini selalu mencitrakan diri sebagai
pendukung minoritas, antara lain Ahmadiyah. Pada 4 Mei 2008, ketika
sejumlah wartawan bertanya mengapa ia membela Ahmadiyah, Gus Dur
mengatakan, “Karena mereka kaum minoritas yang perlu dilindungi dan saya
tidak peduli mengenai ajarannya.” (lihat tulisan berjudul Gus Dur Bela
Ahmadiyah Berdalih karena Minoritas edisi May 8, 2008 1:10 am).
Tak
berapa lama kemudian, Gus Dur pun mendapat penghargaan dari Mebal
Valor, sebuah LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang berbasis di Los
Angeles. Siapa tahu kali ini pun Gus Dur bisa mendapat hadiah serupa
setelah membela minoritas Bali yang justru ‘berterimakasih’ kepada
Amrozi cs karena telah melampiaskan rasa sakit hatinya. Untuk lebih
afdholnya, Gus Dur juga sebaiknya membela Amrozi cs, karena mereka itu
juga minoritas. Faktanya, mayoritas penduduk Indonesia berprofesi
sebagai petani dan nelayan, hanya sedikit saja (minoritas) yang
berprofesi sebagai pelaku pemboman. “Belain mereka juga dong, Gus…”
Bom Bali Pertama
Bom
Bali Pertama yang terjadi pada hari Sabtu tanggal 12 Oktober 2002,
sekitar pukul 23.10 WITA, selain menelan 202 korban jiwa, juga
menyebabkan sekitar 350 orang lainnya mengalami luka-luka berat dan
ringan. Ketika itu, terjadi tiga ledakan sekaligus, dua diantaranya
terjadi di jalan Legian, Kuta (Bali), satu lainnya di Renon dekat
Konsulat AS (jalan Raya Puputan).
Ledakan yang terjadi di jalan
Legian, khususnya di Paddy’s Pub dan Sari Club, menyebabkan kedua
bangunan tersebut porak poranda, dan beberapa bangunan di sekitarnya
rusak berat dan ringan. Menurut cacatan pihak kepolisian, korban
terbesar berasal dari Australia (sekitar 83 orang), diikuti dengan
Indonesia (sekitar 37 orang), WN Inggris (sekitar 28 orang). Untuk
mengenang tragedi ini, dibuat sebuah ‘bangunan bersejarah’ yang diberi
nama Monumen Ground Zero di Legian, Kuta, Bali.
Dari kasus Bom
Bali Pertama ini, aparat kepolisian menetapkan tersangka utama yang
terdiri dari 4 orang, yaitu Ali Ghufron bin Nurhasyim alias Mukhlas
(kelahiran Tenggulun, Solokuro, Lamongan, Jawa Timur tanggal 02 Februari
1960), divonis Hukuman Mati; Amrozi bin Nurhasyim (kelahiran Tenggulun,
Solokuro, Lamongan, Jawa Timur tanggal 05 Juni 1962), divonis Hukuman
Mati; Imam Samudra alias Abdul Azis (kelahiran Serang, Banten tanggal 14
Januari 1970), divonis Hukuman Mati, dan Ali Imron bin Nurhasyim alias
Ale (kelahiran Tenggulun, Solokuro, Lamongan, Jawa Timur tanggal 02
Januari 1979), divonis Penjara Seumur Hidup. Persidangan atas diri
mereka sudah berlangsung sejak 12 Mei 2003.
Genap setahun setelah
terjadinya tragedi Bom Bali pertama, 12 Oktober 2003, diadakan
peringatan, yang tidak hanya berlangsung di Bali, tetapi antara lain di
Inggris. Bisa dibaca, korban Bom Bali pertama dari Inggris menduduki
peringkat ketiga setelah Australia dan Indonesia, yaitu mencapai 28
orang korban. Sedangkan warga negara Amerika yang menjadi korban
mencapai 7 orang (peringat ke-4).
Di Inggris, Menteri Luar Negeri
Jack Straw (kala itu) bergabung bersama sekitar 800 orang di Gereja St
Marin, London, memperingati satu tahun tragedi Bom Bali. Peringatan
setahun Bom Bali kala itu diorganisir Kelompok Korban Bom Bali (BBVG) di
Inggris. Mereka selain menyanyikan himne, pembacaan puisi, menaburkan
mawar putih, juga menyalakan lilin-lilin di halaman gereja, serta
menerbangkan sebanyak 202 balon sebagai representasi dari korban yang
meninggal. Tidak hanya Jack Straw, acara itu juga dihadiri oleh Duke of
Kent sebagai wakil Ratu Inggris, dan Menteri Kebudayaan Tessa Jowell.
Pada
peringatan tahun keempat tragedi Bom Bali pertama, Pangeran Charles
(putra mahkota kerajaan Inggris) meresmikan tugu peringatan di St James
Park, Westminster, London, Kamis (12 Okt 2006). Peresmian itu diawali
dengan pembacaan sambutan oleh Menteri Negara urusan Budaya Media dan
Olahraga Tessa Jowell, yang antara lain mengatakan bahwa tugu peringatan
tersebut merupakan ungkapan rasa kepedihan dan kesetiakawanan.
Setiap
tahun, tragedi Bom Bali pertama ini diperingati tidak hanya di sekitar
Monumen Ground Zero yang terletak di Legian, Kuta, tetapi juga di kantor
Konsulat Australia di Denpasar. Menjelang malam 12 Oktober 2008,
sekitar 100 peselancar melaksanakan peringatan serupa di Pantai Kuta,
mereka melaksanakan kegiatan Peddel for Peace (dayung untuk perdamaian),
pelepasan tukik dan burung merpati serta perenungan perdamaian di
Pantai Kuta.
Di sekitar Monumen Ground Zero pada 12 Oktober 2008
lalu, peringatan ini ditandai dengan pemasangan lilin di sekitar
monumen. Ketika itu tampak hadir Gubernur Bali I Made Mangku Pastika,
yang pernah menjabat sebagai Ketua Tim Investigasi peristiwa Bom Bali
Satu. Sejak pagi keluarga korban dan masyarakat maupun wisatawan asing
yang sedang berada di Bali menyempatkan diri mengunjungi monumen ini
untuk berdoa ataupun meletakkan karangan bunga.
Dari tragedi Bom
Bali pertama ini, tidak hanya berdiri sebuah monumen, tetapi juga
berdiri sebuah lembaga bernama Yayasan Paguyuban Isana (Istri Suami
Anak) Dewata, yang diketuai oleh Raden Supriyo Laksono (alias Sony).
Melalui paguyuban ini, pemerintah memberikan tunjangan kepada keluarga
korban sampai tahun ketiga setelah peristiwa ledakan terjadi. Setelah
itu, sejumlah ekspatriat asal Australia yang membentuk yayasan bernama
Kuta International Disaster Scholarship (KIDS), berperan membantu
kelangsungan hidup dan pendidikan anak-anak korban bom Bali. Setiap anak
dipenuhi keperluannya, seperti uang komite, SPP, buku, sepatu, dan
perlengkapan lainnya. Bantuan berupa uang dari KIDS diberikan setiap
enam bulan sekali, dan akan berlangsung sampai anak-anak tersebut lulus
kuliah.
Bom Bali Kedua
Sedangkan Bom Bali Kedua
terjadi pada hari Sabtu, tanggal 01 Oktober 2005, sekitar jam 23:00
waktu setempat, di tiga lokasi sekaligus, yaitu di Kafe Menega
(Jimbaran, Bali), Kafe Nyoman (Jimbaran, Bali), dan Raja’s Bar &
Rest (di Kuta Square). Dari tragedi yang menewaskan 20 orang ini,
sebagian besar korban (15 orang) berasal dari Indonesia, selebihnya
warga negara Australia (4 orang), serta 1 warga negara Jepang.
Rabu
01 Oktober 2008, peringatan Bom Bali Kedua digelar di halaman Konsulat
Australia di Bali, di Jl Mpu Tantular, Denpasar. Peringatan ini dihadiri
oleh Konjen Australia Bruce Cowled, Konjen Jepang Eiichi Suzuki,
Gubernur Bali Made Mangku Pastika, serta sekitar 20 korban dan keluarga
korban Bom Bali Kedua asal Australia dan Indonesia ini, diliputi suasana
hening diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan lagu
Kebangsaan Australia. Kemudian diikuti dengan membacakan nama korban
yang meninggal. Kemudian, satu per satu para konjen, korban dan
keluarganya meletakkan bunga di altar.
Di bekas Raja’s Bar &
Rest, peringatan Bom Bali Kedua berlangsung setiap tahun. Lokasi itu
kini bernama Raja’s Kafe, dan menjadi toko pakaian. Karyawan Raja’s
duduk melingkar, menyalakan lilin sambil memanjatkan doa.
Pada
Bom Bali Kedua digunakan jenis bom melayang, yaitu bom bunuh diri yang
dimasukkan ke dalam tas punggung, kemudian diledakkan, sehingga
menghancurkan pelakunya. Sebenarnya pada kasus Bom Bali Pertama, modus
ini juga dipraktekkan, yaitu di lokasi Paddy’s Café.
Oleh karena
itu, pelaku utama Bom Bali Kedua ini, pada mulanya tidak bisa
diidentifikasi, karena ia hancur bersama dengan bom yang dibawanya.
Seiring perjalanan waktu, berhasil diidentifikasi salah satu pembawa bom
melayang ini diduga bernama Salik Firdaus. Meski demikian, dari kasus
ini berhasil ditetapkan empat terdakwa, yaitu Abdul Azis, Dwi Widiyarto,
dan Anif Solchanudin, dan Mochamad Cholily. Tiga yang pertama dituntut
Jaksa Penutut Umum (JPU) 10 tahun penjara, sedangkan Cholily dituntut
lebih berat yaitu 15 tahun penjara karena terlibat langsung dalam bom
Bali II.
Bila dibandingkan dengan peringatan Bom Bali Pertama,
yang kedua memang kurang semarak. Mungkin karena jumlah korban tewas
yang terjadi pada tragedi Bom Bali Kedua ‘hanya’ 20 orang, itu pun
sebagian besar orang Indonesia sendiri. Namun demikian, masih mending
bila dibandingkan dengan kasus lain yang korbannya seratus persen orang
Indonesia (mayoritasnya Muslim), sebagaimana terjadi pada kasus
pembantaian di Tobelo (Desember 1999-Januari 2000), dan Pesantren
Walisongo (28 Mei 2000).
Meski korban pembantaian yang terjadi di
Tobelo-Galela dan Pesantren Walisongo jumlahnya jauh lebih banyak dari
korban Bom Bali Pertama, namun hingga kini tidak ada monumen peringatan
yang didirikan di lokasi tersebut. Bahkan mungkin tidak ada paguyuban
atau lembaga bantuan yang menyantuni korban di lokasi tersebut.
Bagaimana
seandainya di lokasi-lokasi tempat berlangsungnya pembantaian terhadap
umat Islam didirikan monumen berisikan nama-nama korban, dan dibaca
setiap tahun, untuk mengingatkan kepada kita betapa kejamnya orang
Kristen dan Katholik. Selain nama-nama korban, akan lebih lengkap lagi
bila pada monumen peringatan itu diabadikan juga nama tokoh-tokoh yang
terlibat pembantaian, termasuk Tibo cs tentunya.
Tragedi Pembantaian di Tobelo
Tobelo
merupakan sebuah kota kecamatan di Maluku Utara. Tragedi pembantaian
Tobelo merupakan rangkaian kasus Ambon Berdarah yang terjadi sejak 19
Januari 1999. Kasus Tobelo sendiri berlangung mulai 24 Desember 1999
hingga 7 Januari 2000. Menurut catatan Tim Investigasi Pos Keadilan
Peduli Ummat, 688 orang tewas dan 1.500 dinyatakan hilang.
Tragedi
pembantaian di Tobelo ini, bermula ketika Sinode GMIH (Gereja Masehi
Injil di Halmahera) mengkoordinir pengungsian umat Kristen ke Tobelo,
yang jumlahnya mencapai 30.000 orang, yang dilakukan secara bertahap,
sejak pertengahan November hingga awal Desember 1999. Puncaknya, pada
Jumat 24 Desember 1999 malam (menjelang Hari Natal 25 Desember 1999)
dengan beberapa buah truk, telah diangkut ratusan warga Kristen dari
Desa Leleoto, Desa Paso dan Desa Tobe ke Tobelo. Dengan alasan untuk
pengamanan gereja. Warga Kristen yang diangkut tersebut menggunakan
atribut lengkap (seolah-olah mau perang), seperti kain ikat kepala
berwarna merah, tombak, parang dan panah.
Mengetahui gelagat yang
kurang baik dari warga Kristen tersebut, umat Islam Tobelo mulai
merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Saat itu umat Islam sedang dalam
suasana menjalankan ibadah shaum ramadhan. Akhirnya pada 26 Desember
1999, pecahlah pembantaian yang dikesankan adanya kerusuhan, konflk
horizontal. Padahal, sebelumnya tidak ada konflik apa-apa. Tragedi ini
konon dipicu oleh adanya persoalan sepele berupa pelemparan batu
terhadap rumah milik Chris Maltimu seorang purnawirawan polisi. Rupanya
pelemparan terhadap rumah Chris Maltimu itu dijadikan trigger untuk aksi
pembantaian yang sudah dirancang sebelumnya.
Menurut Ode Kirani,
warga muslim dari desa Togoliwa, kecamatan Tobelo, Halmahera, pada 27
Desember 1999, saat warga desa sedang menjalankan ibadah puasa, tanpa
diduga sebelumnya ribuan masa kristen yang berasal dari desa tetangga
(antara lain, Telaga Paca, Tobe, Tomaholu, Yaro, dan lain-lain)
menyerang desa Togoliwa di saat subuh. Akibat serangan mendadak tersebut
ribuan warga muslim di desa tersebut menemui ajal. Kebanyakan dari
mereka terbunuh saat berlindung di masjid. (Ambon, Laskarjihad.or.id 16
03 2001).
Rabu, 29 Desember 1999, di Mesjid Al Ikhlas (Kompleks
Pam) tempat diungsikanya para ibu dan anak-anak, terjadi pembantaian
terhadap sekitar 400 (empat ratus) jiwa. Menurut penuturan saksi mata,
ada korban yang sempat jatuh dicincang dan dijejerkan kepala mereka di
ruas jalan. Ada juga beberapa wanita yang dibawa ke Desa Tobe (sekitar 9
KM ) dari Desa Togoliwa, kemudian dikembalikan dalam keadaan telanjang.
Modus operasi yang dilakukan oleh kelompok merah mula-mula melakukan
pemboman kemudian dilanjutkan dengan pembakaran, sehingga tidak ada satu
pun yang lolos dari sasaran mereka.
Menurut sebuah sumber, total
korban di Tobelo dan Galela mencapai 3000 jiwa, 2800 di antaranya
Muslim. Namun demikian, angka yang diakui Max Marcus Tamaela yang kala
itu menjabat sebagai Pangdam Pattimura adalah 771 jiwa. Meski angka itu
masih jauh dari kenyataan, namun masih jauh lebih banyak dibanding
dengan angka yang diakui Gus Dur yaitu ‘hanya’ lima orang saja.
Ketika
pembantaian Tobelo terjadi, Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI. Bila
menurut penglihatannya korban Tobelo-Galela hanya lima orang saja, kita
harus maklum. Karena, pertama, Gus Dur itu pembela kaum minoritas.
Kedua, penglihatannya memang terganggu. Kala itu, Menkopolkam dijabat
oleh Wiranto, dan Panglima TNI dijabat oleh Widodo AS. Sayangnya, posisi
mereka saat itu tidak bisa memperbaiki kualitas penglihatan Gus Dur
terhadap kasus pembantaian umat Islam di sana. Padahal mereka juga
beragama Islam.
Hajjah Aisyah Aminy, SH, yang kala itu menjabat
sebagai anggota Komnas HAM, menyesalkan sikap aktivis LSM yang selama
ini dikenal sebagai pejuang keadilan masyarakat, namun membisu ketika
umat Islam yang jadi korban. Aisyah juga menyesalkan sikap media massa
yang kurang antusias memberitakan peristiwa di Maluku itu. Tapi kalau
yang mati adalah teman mereka sendiri, meski hanya satu orang seperti
Munir, mereka heboh bukan main dengan membawa-bawa alasan pelanggaran
HAM sampai ke hadapan Bush segala.
Bila kita mendasarkan pada
angka yang diakui Tamaela, yaitu 771 jiwa, jumlah itu pun masih jauh
lebih banyak dari korban Bom Bali Pertama dan Kedua. Apalagi bila
ditambah dengan korban pembantaian yang dilakukan Tibo cs terhadap warga
pesantren Walisongo, jumlah koran Bom Bali secara keseluruhan masih
jauh lebih kecil. Namun perhatian dunia, kalangan LSM, kalangan pers,
dan pemerintah Indonesia sendiri, kurang hirau bahkan cenderung
mengabaikan korban Tobelo-Galela dan Poso (termasuk warga Pesantren
Walisongo)
Pembantaian Di Pesantren Walisongo
Pembantaian
terhadap warga Pesantren Walisongo, merupakan rangkaian dari kekejaman
serial yang terjadi di Poso. Kasus Poso sendiri sudah terjadi sejak 25
Desember 1998, di saat-saat umat Islam sedang menjalankan ibadah Shaum
Ramadhan 1419 H. Sedangkan pembantaian terhadap warga pesantren
Walisongo, berlangsung pada hari Minggu tanggal 28 Mei 2000.
Hidayatullah.com dalam salah satu laporannya menuliskan:
Puluhan
warga Pesantren Walisongo itu dibariskan menghadap Sungai Poso. Mereka
dihimpun dalam beberapa kelompok yang saling terikat. Ada yang tiga
orang, lima, enam atau delapan orang. Para pemuda digabungkan dengan
pemuda dalam satu kelompok. Tangan mereka semua terikat ke belakang
dengan kabel, ijuk, atau tali rafiah yang satu dengan lainnya saling
ditautkan.
Sebuah aba-aba memerintahkan agar mereka membungkuk.
Secepat kilat pedang yang dipegang para algojo haus darah itu memenggal
tengkuk mereka. Bersamaan dengan itu, terdengar teriakan takbir. Ada
yang kepalanya langsung terlepas, ada pula yang setengah terlepas. Ada
yang anggota badannya terpotong, ada pula badannya terbelah. Darah
segarpun muncrat. Seketika itu pula tubuh-tubuh yang tidak berdosa itu
berjatuhan ke sungai.
Bersamaan dengan terceburnya orang-orang
yang dibantai itu, air sungai Poso yang sebelumnya bening berubah warna
menjadi merah darah. Sesaat tubuh orang-orang yang dibantai itu
menggelepar meregang nyawa sambil mengikuti aliran sungai. Tidak
semuanya meninggal seketika, masih ada yang bertahan hidup dan berusaha
menyelamatkan diri. Namun regu tembak siap menghabisi nyawa korban
sebelum mendapatkan ranting, dahan, batang pisang, atau apapun untuk
menyelamatkan diri.
Itulah salah satu babak dalam tragedi
pembantaian ummat Islam di Poso, Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu.
Warga Pesantren Walisongo merupakan salah satu sasaran yang dibantai. Di
komplek pesantren yang terletak di Desa Sintuwulemba, Kecamatan Lage,
Poso ini tidak kurang 300-an orang yang tinggal. Mulai dari ustadz,
santri, pembina, dan istri pengajar serta anak-anaknya.
Tidak
satupun orang yang tersisa di komplek pesantren itu. Sebagian besar
dibantai, sebagian lainnya lari ke hutan menyelamatkan diri. Bangunan
yang ada dibakar dan diratakan dengan tanah. Pesantren Poso hanya
tinggal puing-puing belaka.
Dari tragedi pembantaian ini,
aparat menetapkan tiga tersangka utama Fabianus Tibo (saat itu berusia
60), Dominggus da Silva (saat itu berusia 39), dan Marinus Riwu (saat
itu berusia 48). Ketiganya menjalani hukuman mati secara serentak pada
tanggal 22 September 2006, Jumat dinihari pukul 01.45 WITA. Eksekusi
mati dilaksanakan di Desa Poboya, Palu Selatan oleh tiga regu tembak
Brimob Polda Sulawesi Tengah.
Sebelum dieksekusi mati,
Tibo cs pernah mengungkapkan peranan 16 tokoh penting Poso dan
keterlibatan Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yang
berpusat di Tentena –kota kecil di tepian Danau Poso– secara langsung
dalam kerusuhan Poso. Sayangnya, hingga kini mereka yang memegang
jabatan di Majelis Sinode tidak pernah diperiksa polisi.
Sebuah
lembaga penegakan syari’ah pada hari Rabu tanggal 14 Desember 2005,
pernah mewawancarai Fabianus Tibo di Lembaga Pemasyarakatan Fetobo, dan
mentranskrip pernyataan Tibo perihal keterlibatan orang-orang penting di
belakang tragedi pembantaian Poso, sebagai berikut:
Supaya
bapak-bapak bisa tahu bahwa inilah yang sebenarnya. Kenapa dari dulu
semua pengacara kami tutup, tidak bisa kami mengungkapkan semuanya, kami
tidak boleh bicara.
Sampai di kantor pengadilan pun tidak bisa
kami berbicara, selalu ditekan terus. Kenapa? Karena mereka takut,
karena ada yang kami akan ungkapkan semuanya itu.
Jadi, saya ingin ungkapkan, supaya bapak-bapak tahu, kenapa saya harus berada di Poso.
Karena
Yanis Simangunsong, mungkin bapak-bapak sudah tahu itu nama 16 orang,
Yanis Simangunsong yang datang ke Beteleme, waktu itu belum Kabupaten,
masih Kecamatan Lepo. Jadi, Yanis datang ke rumah saya dia katakan, “Om,
Gereja dengan Suster, Pastur, dengan anak sekolah di sana orang Islam
akan bunuh semua.”
Lalu saya katakan, “Bahasamu itu kamu bisa
bertanggungjawab, kalau tidak benar saya lapor polisi.” Dia katakan,
“Ya, kalau om percaya atau tidak ya terserah. Tetapi saya yang katakan
itu benar.”
Apa yang terjadi? Karena dia provokasi seluruh orang
yang ada –sekarang sudah kabupaten ya– di Kabupaten Morowali, mulai dari
Beteleme Kolongale sampai Wuku (?). Dimana di situ ada umat Kristen, di
situlah Yanis Simangunsong provokasi, sehingga di sana hampir tejadi di
pasar Beteleme waktu itu, karena dengan provokasinya, sehingga apa,
Islam yang ada di pasar Beteleme ketakutan yang lain lari.
Selain
Yanis Simangunsong, beberapa nama yang termasuk ke dalam 16 tokoh
penting yang berperanan penting terhadap terjadinya pembantaian di Poso,
sebagaimana disebutkan Tibo adalah: L Tungkanan, Eric Rombot, Mama
Wanti, Luther Maganti, Drs. J. Santo, J. Kambotji, Drs. Sawer Pelima,
Pendeta Renaldy Damanik, Paulus Tungkanan, Angki Tungkanan, Lempa Deli,
Yahya Patiro (mantan Sekab Poso). Mantan Bupati Poso dua periode
(1974-1984) Letkol Purn Drs. R.P.M.H Koeswandhi, Sth yang kini
berdomisili di Jakarta, diduga ikut bermain api dan memanaskan situasi.
Tibo
cs juga pernah menyebut beberapa nama yang disebutnya dengan panggilan
“jenderal” seperti jenderal H, jenderal R dan jenderal T. Jenderal H
menurut pengakuan Tibo cs berperan sebagai aktor intelektual di balik
pertikaian berdarah di Poso. Sebagaimana dikatakan oleh Kaditserse Polda
Sulteng (ketika itu) Superintendent Andi Ahmad Abdi, sesuai pemeriksaan
terhadap Tibo dkk, ia membenarkan nama “H” disebut-sebut sebagai salah
seorang konseptor penyerangan kantong-kantong permukiman muslim di lima
kecamatan dalam wilayah Kabupaten Poso, termasuk di Kota Poso sendiri
(lihat Antara 9 Agustus 2000, juga Kompas 10 Agustus 2000).
Dukungan Untuk Tibo cs dan Tekanan Vatikan
Sebelum
akhirnya dieksekusi, Tibo cs mendapat dukungan luas dari dalam dan luar
negeri. Semula, pelaksanaan hukuman mati atas Tibo cs direncanakan
berlangsung Sabtu dinihari, tanggal 12 Agustus 2006 pukul 00.15 waktu
setempat. Namun karena adanya surat tekanan Vatikan itu, eksekusi mati
ditunda hingga 22 September 2006. Sebagaimana diakui Wakil Presiden
Muhamad Jusuf Kalla, bahwa pada 12 Agustus 2006 ada surat dari Paus
Benediktus XVI dan surat dari sejumlah uskup yang meminta Tibo cs tidak
dieksekusi.
Faktanya, menjelang eksekusi mati Tibo cs memang
banyak bermunculan berbagai suara yang berusaha menghalang-halangi
dilaksanakannya ekesekusi mati bagi Tibo cs yang secara sadis dan biadab
telah membantai komunitas Muslim Poso, khususnya warga Pesantren
Walisongo Desa Sintuwulemba, Kecamatan Lage. Mereka memposisikan Tibo cs
seolah-olah sebagai korban kesesatan hukum, korban kesesatan peradilan,
sehingga dengan lantang mereka menyuarakan penolakan eksekusi mati atas
Tibo dkk. Mereka sama sekali tidak pernah menyinggung para korban yang
telah dibantai secara sadis, terencana, dan biadab.
Aloys Budi
Purnomo, Rohaniwan dan Pemimpin Redaksi Majalah INSPIRASI yang berpusat
di Semarang, mengungkapkan isi hatinya berupa opini, bahwa “…Kasus yang
menjerat Tibo cs memang penuh dengan kontroversi ketidakadilan. Mereka
menjadi korban peradilan yang sesat. Mereka menjadi tumbal ketidakadilan
dan proses hukum yang inskonstitusional…” (Kompas, Sabtu, 23 September
2006).
Tokoh intelektual umat Katolik Indonesia Frans Magnis
Suseno saat mengunjungi Tibo dkk di Lembaga Permasyarakatan Kelas II A
Palu (pertengahan April 2006) mengatakan, pemerintah Indonesia tidak
boleh gegabah mengeksekusi Tibo dkk karena saat ini banyak pertimbangan
yang muncul yang menunjukkan adanya kemungkinan bahwa Tibo dkk tidak
bersalah. Frans juga mengatakan, aparat hukum tidak dapat melakukan
eksekusi hanya karena semua prosedur hukum telah dijalani oleh Tibo dkk.
Gus
Dur salah satu tokoh sepilis (sekulersime, pluralisme agama, dan
liberalisme), bersuara sama dengan Theo Sambuaga (tokoh Golkar) dan
Pendeta Nico Gara dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Tomohon.
Mereka antara lain mengatakan, Tibo cs merupakan saksi mahkota, bila
dieksekusi, maka mata rantainya putus. Theo Sambuaga menambahkan, jika
Tibo sudah dieksekusi, sedangkan novum itu betul bahwa mereka bukan
dalang kerusuhan Poso, akibatnya akan sangat fatal dari segi hukum dan
penegakan hak asasi manusia (HAM). Oleh karena menurut Akbar Tandjung,
sebaiknya eksekusi terhadap Tibo dan dua kawannya ditunda demi
kepentingan mengungkap aktor intelektual yang sebenarnya dalam peristiwa
kerusuhan Poso. Aktor intelektual yang dimaksud adalah sejumlah 16 nama
yang pernah dinyatakan secara sepihak oleh Tibo sebagai aktor utama.
Mereka
sama sekali tidak pernah berada di sisi korban yang telah dianiaya
sedemikian rupa. Pernahkah mereka menyantuni para janda korban
pembantaian Tibo dkk? Sama sekali tidak! Ini menunjukkan bahwa mereka
adalah orang-orang yang mendukung kekejaman, mendukung kebiadaban,
mendukung perbuatan barbar, mendukung upaya-upaya yang berorientasi
disintegratif.
Cobalah perhatikan, mereka yang dulu menolak
hukuman mati terhadap Tibo cs dengan dalih “kematian merupakan hak
Tuhan” dan berbagai dalih lainnya, sudah bisa dipastikan tidak akan
bersuara apa-apa ketika rencana eksekusi mati terhadap pelaku Bom Bali
direalisasikan. Justru, mereka cenderung mendorong pemerintah secepatnya
melaksanakan eksekusi tersebut. Bahkan ada yang secara emosional
berpendapat, “bila perlu termasuk keluarganya sekalian dihukum mati.”
Standar ganda seperti itu memang perilaku khas mereka, orang-orang yang
sok demokratis, orang-orang yang sok humanis, dan sok moralis. Hipokrit.
Kasus Corby dan Bali Nine
Australia
juga menganut standar ganda, misalnya dalam kasus Schapelle Leigh
Corby, gadis warga negara Australia yang ditangkap di Bandara Ngurah Rai
Bali pada 8 Oktober 2004 karena di dalam tasnya terdapat 4,2 kg
mariyuana.
Ketika memasuki tahapan persidangan, pemerintah
Australia meminta agar kepada Corby tidak dijatuhi hukuman mati.
Beberapa hari sebelum sidang Corby, tampak lilitan pita warna hijau muda
di pohon-pohon pinus sepanjang jalan di depan gedung Pengadilan Negeri
Denpasar, sebagai dukungan moral kepada Corby.
Di tahun 2005
(tepatnya tanggal 17 April), sembilan orang penyelundup heroin seberat
8,3 kilogram ditangkap di Denpasar, Bali. Tiga di antaranya warga
Australia. Mereka menjadikan Bali sebagai tempat transit sebelum
bertolak ke Australia. Kasus ini dikenal dengan sebutan The Balinine.
Senin
11 Agustus 2008 lalu, Stephen Smith (Menteri Luar Negeri Australia)
menjumpai Menteri Luar Negeri Hasan Wirayudha di Jakarta. Salah satu
tujuannya adalah melobi pemerintah Indonesia untuk memberikan
pengampunan terhadap tiga terpidana mati warga negara Australia yang
tersangkut kasus The Bali Nine.
Pemerintah Australia tidak setuju
hukuman mati diberlakukan terhadap diri warganya, meski jelas terbukti
menyelundupkan heroin. Namun sikap itu belum tentu tertuju kepada selain
warga negaranya. Pada satu sisi mereka berargumentasi menolak hukuman
mati (atas warganya), namun mereka pada sisi lain justru mendorong
dilaksanakannya hukuman mati untuk Amrozi cs (pelaku Bom Bali).
Sebelum
bertolak ke Jakarta, Stephen Smith sehari sebelumnya (10 Agt 2008)
diwawancarai Sydney Morning Herald. Ketika itu ia mengatakan, “… ketika
warga Australia di luar negeri dihukum karena melakukan kejahatan
kemudian dipidana mati, maka kami akan melakukan upaya representasi atas
nama warga negera Australia. Namun, ketika hukuman tersebut dijatuhkan
kepada non warga Australia, maka kami akan melakukan penilaian secara
kasuistik.”
Kebohongan Corby
Pada tahun 2004-2005,
pada saat kasus Corby mulai ditangani aparat keamanan dan hukum
Indonesia, media cetak dan elektronika Australia melalui pemberitaannya
berupaya sedemikian rupa membentuk opini bahwa Corby tidak bersalah.
Cara-cara mereka sama persis dengan para pendukung Tibo cs ketika mereka
memberikan pembelaan agar Tibo cs tidak dihukum mati.
Akibat
pemberitaan media cetak dan elektronik Australia yang membela Corby,
maka KBRI Canberra dan kantor-kantor perwakilan RI lainnya menjadi
sasaran kekesalan warga Australia. Beberapa bentuk kekesalan dari
simpatisan Corby ketika itu diekspresikan berupa mengirimkan paket
berisi “serbuk putih” yang sempat menghebohkan aparat keamanan dan
diplomat RI di KBRI Canberra. Selain itu, terjadi berbagai bentuk
vandalisme terhadap properti milik KJRI Sydney. Bahkan, Konsulat RI di
Perth, Australia Barat, menerima surat bertuliskan tangan yang berisi
ancaman: “Jika Schapelle Corby tidak segera dibebaskan, anda semua akan
menerima setiap peluru ini menembus otak.”
Saat itu opini publik
Australia memang masih amat sangat berpihak kepada Corby. Namun beberapa
tahun kemudian, 22 Juni 2008, stasiun TV Channel Nine di Australia
mulai membuka tabir kebohongan Corby. Ratapan memelas Corby saat
memasuki tahapan proses persidangan, yang selama ini menjadi sumber
dukungan masyarakat Australia, ternyata merupakan rekayasa semata.
Channel
Nine selama tiga setengah tahun membuat film dokumenter berjudul
Schapelle Corby: The Hidden Truth, dengan durasi 120 menit. Ternyata,
menurut film dokumenter itu, ucapan memelas Corby yang berhasil menarik
simpati publik Australia selama bertahun-tahun itu, merupakan sesuatu
yang direkayasa sedemikian rupa oleh Corby ketika ia dikunjungi Ron
Bakir, pendukung setianya saat itu. Bahkan melalui kamera tersembunyi,
tim peliput Channel Nine berhasil merekam sebuah adegan ketika Corby
sedang berlatih mengucapkan kata-kata memelas itu: “Help me… Help me
Australia!”
Juli 2008, misteri kepemilikan 4,2 kg mariyuana yang
ditemukan petugas Indonesia di dalam sarung tas papan selancar Schapelle
Corby pada tahun 2004 lalu itu, mulai terkuak jelas. Ternyata,
pemiliknya adalah Michael Corby, ayah Schapelle Leigh Corby sendiri.
Sepupu
ayah Corby, Alan Trembath, mengungkapkan bahwa Michael Corby pernah
menawarkan dirinya bisa mendapat imbalan sebesar 80 ribu dolar Australia
jika bersedia menyelundupkan mariyuana ke Bali dengan kapal pesiar.
Trembath juga mengungkapkan, keterlibatan Michael Corby dalam urusan
perdagangan dan penyelundupan mariyuana sudah berlangsung sejak tahun
1980-an. Oleh karenanya, Trembath punya keyakinan kuat tentang
keterlibatan Schapelle Corby dalam kasus penyelundupan mariyuana ke Bali
di tahun 2004, karena sepanjang hidupnya Schapelle Corby sudah akrab
dengan bisnis mariyuana yag dijalankan ayahnya.
Jika keluarga
Corby sudah memulai bisnis haram itu sejak tahun 1980-an dan baru
tertangkap di tahun 2004, berarti sudah sekitar dua dasawarsa mereka
berkecimpung di bisnis haram ini. Bisa dibayangkan, berapa banyak
generasi muda kita yang telah menjadi korban keluarga Corby melalui
bisnis mariyuananya. Jumlahnya boleh jadi jauh lebih banyak dari korban
Bom Bali.
Kemungkinan besar keluarga Corby hanyalah salah satu
saja dari pelaku bisnis haram asal Australia. Tentu masuk akal bila ada
yang menduga masih banyak “Corby-corby” lain yang hingga kini belum
tertangkap. Pertanyaannya: “Berapa banyak korban mariyuana yang
dihasilkan oleh mereka sepanjang dua atau tiga dasawarsa ini?” Tentu
jumlahnya jauh lebih banyak dari korban Bom Bali.
Bila ada satu
saja warga Australia terancam hukuman mati, pemerintah dan masyarakatnya
langsung tampil memberikan dukungan dan pembelaan. Tapi bila ada
ratusan pemuda kita yang mati secara fisik dan “mati” secara psikis
akibat narkoba yang diselundupkan warga Australia, pemerintah dan
masyarakat kita diam saja. Malahan makhluk sejenis “Corby” ini cenderung
dimanjakan karena diposisikan sebagai turis yang menghasilkan devisa.
Selain korban narkoba, masih ada korban lain yaitu korban kebuasan nafsu
pengidap paedhophilia. Berapa banyak tunas bangsa kita menjadi korban
pengidap paedophilia di Bali, di Yogyakarta, dan kota-kota wisata
lainnya? Pastinya, jauh lebih banyak dari korban Bom Bali.
(haji/tede/mua)
Diambil dari
http://www.nahimunkar.com/?p=161