by: Adrian Harahap
Dahulu
kala, orang Jepang sering dijuluki dengan "les marchands des
transistors" (pedagang transistor) oleh De Gaulle. Tapi sekarang lain
lagi ceritanya, "seloroh" itu tidak berlaku lagi karena kini mereka
bukan hanya juara dunia dalam teknologi hi-fi, tetapi juga dalam
teknologi microprocessor, mobil, bio-industri dan teknologi tinggi lain.
Bukan itu saja, dalam sepuluh tahun terakhir produksi Jepang meningkat
jauh dua kali lebih cepat dibandingkan Amerika Serikat.
Tentu kita ingin tahu apa rahasia para pendekar bisnis Jepang ini meraih sukses. Berikut rahasia meraka:
Akio Morita
Adalah Akio Morita, pendiri perusahaan Sony. Seorang penggemar olahraga golf. Walkman lahir lewat tangan dinginnya karena dia pernah berpikir, "Sebaiknya ada sebuah alat kecil yang bisa mengeluarkan suara.
Kini dia berumur sekitar enampuluhan tahun, berambut putih dengan mata hampir kuning dan berbagan kurus. Namun semangatnya seperti remaja berusia dua puluh lima tahun.
Rumahnya terletak di daerah kedutaan di pinggir Tokyo. Rumah tersebut bertingkat, lengkap dengan kebun dengan sebuah kolam renang. Walaupun dia seorang boss Jepang yang berpikiran Barat, namun ia tetap menjalani hidup sederhana dan memegang teguh tradisi keluarga Jepang pada umumnya.
Adalah Akio Morita, pendiri perusahaan Sony. Seorang penggemar olahraga golf. Walkman lahir lewat tangan dinginnya karena dia pernah berpikir, "Sebaiknya ada sebuah alat kecil yang bisa mengeluarkan suara.
Kini dia berumur sekitar enampuluhan tahun, berambut putih dengan mata hampir kuning dan berbagan kurus. Namun semangatnya seperti remaja berusia dua puluh lima tahun.
Rumahnya terletak di daerah kedutaan di pinggir Tokyo. Rumah tersebut bertingkat, lengkap dengan kebun dengan sebuah kolam renang. Walaupun dia seorang boss Jepang yang berpikiran Barat, namun ia tetap menjalani hidup sederhana dan memegang teguh tradisi keluarga Jepang pada umumnya.
Yang hebatnya, Akio Morita selalu tiba di kantornya tepat setiap pagi
pukul delapan. Ia juga selalu memakai seragam yang sama dengan seragam
anak buahnya, walaupun jas luarnya made in Inggris. Ini sekedar ingin
menunjukkan semangat demokratis, ciri-ciri dan harga diri setiap
perusahaan Jepang.
Akio Morita mendirikan perusahaan Sony pada tahun 1947. Dia memasarkan transistor pertama, televisi berwarna pertama, dan tidak ketinggalan walkman pertamanya. Saat ini perusahaan sudah sangat maju dan mengekspor 70% dari setiap produknya. "Tujuan utama ekspor kami adalah ke seluruh dunia," katanya bersemangat. Inilah kunci majunya teknologi Jepang. Selalu didorong oleh semangat dengan penuh kesadaran dan rasa kebanggaan.
Awalnya, orang Barat mengejek bahwa orang Jepang hanya bisa membuat sepeda dengan roda tak bisa berputar. Juga setiap arloji buatan Jepang tidak bisa dipercaya. Namun, tidak sampai dua generasi semua bualan barat itu sirna. sebagai buktinya, sebuah karikatur pada tahun tigapuluhan pernah menunjukkan gambar seorang pemburu tengah menyandang sepucuk senapan, yang ketika picunya ditarik maka larasnya tergambar menggembung dan muncul cap-nya: made in Japan (buatanJepang).
Tetapi beberapa puluh tahun kemudian, tiba-tiba orang Jepang menjadi bangsa yang tergila-gila pada perlombaan matematika dan fisika. Ujian-ujian di berbagai universitas penuh dengan persaingan yang menghasilkan cikal bakal orang-orang berpikiran maju. Ini ditunjukkan oleh jejak kaki para direktur yang sukses Di Pusat Penelitian Sony dicetakkan di atas tanah, layaknya jejak kaki para bintang Hollywood di studio MGM.
Makoto Kikuchi
Sama halnya dengan si majikan, adalah Makoto Kikuchi, direktur baru pada Pusat Penelitian Sony ini berusaha bisa berbahasa Inggris, dengan maksud agar dapat berbicara dengan robotnya sendiri, yakni sebuah "Apple" buatan Amerika.
Akio Morita mendirikan perusahaan Sony pada tahun 1947. Dia memasarkan transistor pertama, televisi berwarna pertama, dan tidak ketinggalan walkman pertamanya. Saat ini perusahaan sudah sangat maju dan mengekspor 70% dari setiap produknya. "Tujuan utama ekspor kami adalah ke seluruh dunia," katanya bersemangat. Inilah kunci majunya teknologi Jepang. Selalu didorong oleh semangat dengan penuh kesadaran dan rasa kebanggaan.
Awalnya, orang Barat mengejek bahwa orang Jepang hanya bisa membuat sepeda dengan roda tak bisa berputar. Juga setiap arloji buatan Jepang tidak bisa dipercaya. Namun, tidak sampai dua generasi semua bualan barat itu sirna. sebagai buktinya, sebuah karikatur pada tahun tigapuluhan pernah menunjukkan gambar seorang pemburu tengah menyandang sepucuk senapan, yang ketika picunya ditarik maka larasnya tergambar menggembung dan muncul cap-nya: made in Japan (buatanJepang).
Tetapi beberapa puluh tahun kemudian, tiba-tiba orang Jepang menjadi bangsa yang tergila-gila pada perlombaan matematika dan fisika. Ujian-ujian di berbagai universitas penuh dengan persaingan yang menghasilkan cikal bakal orang-orang berpikiran maju. Ini ditunjukkan oleh jejak kaki para direktur yang sukses Di Pusat Penelitian Sony dicetakkan di atas tanah, layaknya jejak kaki para bintang Hollywood di studio MGM.
Makoto Kikuchi
Sama halnya dengan si majikan, adalah Makoto Kikuchi, direktur baru pada Pusat Penelitian Sony ini berusaha bisa berbahasa Inggris, dengan maksud agar dapat berbicara dengan robotnya sendiri, yakni sebuah "Apple" buatan Amerika.
"Memang, ini masih yang terbaik untuk saat ini," ujarnya jujur.
Laki-laki 45 tahun ini sudah sangat terkenal di Jepang sebagai ilmuwan
yang dibanggakan dari Pusat Penelitian Negara Jepang. Ia adalah ahli
dalam bidang microprocessor dan baru saja pindah ke Sony sekitar enam
tahun yang lalu. Motto hidupnya adalah "Research Makes The Difference".
Motto ini ditulis pada setiap truk-truk di perusahaannya dengan tetap
dalam bahasa Inggris agar tetap menimbulkan kesan eksotis.
Rumahnya amat kecil berbentuk bujur sangkar. Yang aneynya rumah itu terbuat dari kertas minyak. Di sanalah ia tinggal bersama istrinya dalam kehidupan yang sederhana. Menggunakan kimono dan berlutut di atas tikar Jepang, sang istri dengan setia menemani Makoto berbicara dengan komputernya.
Ambisinya untuk beberapa tahun mendatang adalah membuat sebuah komputer yang bisa menguraikan bahasa percakapan orang Jepang agar setiap orang Jepang dapat berbicara dengan komputer. Untuk mewujudkan hal itu, Makoto mengundang 190 peneliti untuk bekerja di pusat penelitiannya. Hal ini wajar karena Sony memberikan 3,5 sampai 5% penghasilannya untuk penelitian. "Waktu di Amerika, saya bekerja di sebuah laboratorium juga. Namun di Sony, dalam waktu satu jam saja sudah cukup bagi saya untuk memperoleh sebuah alat yang harganya setengah juta dolar." ujarnya semangat. Namun begitu, Ia tetaplah seorang Jepang tulen walalupun sudah begitu lama tinggal di Amerika Serikat.
Rumahnya amat kecil berbentuk bujur sangkar. Yang aneynya rumah itu terbuat dari kertas minyak. Di sanalah ia tinggal bersama istrinya dalam kehidupan yang sederhana. Menggunakan kimono dan berlutut di atas tikar Jepang, sang istri dengan setia menemani Makoto berbicara dengan komputernya.
Ambisinya untuk beberapa tahun mendatang adalah membuat sebuah komputer yang bisa menguraikan bahasa percakapan orang Jepang agar setiap orang Jepang dapat berbicara dengan komputer. Untuk mewujudkan hal itu, Makoto mengundang 190 peneliti untuk bekerja di pusat penelitiannya. Hal ini wajar karena Sony memberikan 3,5 sampai 5% penghasilannya untuk penelitian. "Waktu di Amerika, saya bekerja di sebuah laboratorium juga. Namun di Sony, dalam waktu satu jam saja sudah cukup bagi saya untuk memperoleh sebuah alat yang harganya setengah juta dolar." ujarnya semangat. Namun begitu, Ia tetaplah seorang Jepang tulen walalupun sudah begitu lama tinggal di Amerika Serikat.
Di Sony, penelitian produksi harus berhubungan dengan pemasaran. dan itu
merupakan satu keharusan yang permanen. Ini terlihat setiap Minggu pagi
Makoto selalu sarapan bersama Akio Morita, seorang direktur
Marketingnya. Dan ini merupakan hal yang tabu di perusahaan Amerika
dimana hubungan yang begitu wajar dan akrab antara peneliti dan
pemimpinnya.
Sama dengan pemimpinnya, sang direktur marketing Morita yang kalau bermain golf selalu memakai kemeja dan topi Amerika ini, namun setiap berjumpa dengan kawan nya tetap membungkukkan badan sampai ke tanah. Meskipun di dalam mobilnya penuh dengan perlengkapan teknologi tinggi seperti telepon, televisi dan magnetoskop, namun ia tetap mengenakan seragam yang juga dipakai oleh 35.000 para pekerja di Sony.
Sama dengan pemimpinnya, sang direktur marketing Morita yang kalau bermain golf selalu memakai kemeja dan topi Amerika ini, namun setiap berjumpa dengan kawan nya tetap membungkukkan badan sampai ke tanah. Meskipun di dalam mobilnya penuh dengan perlengkapan teknologi tinggi seperti telepon, televisi dan magnetoskop, namun ia tetap mengenakan seragam yang juga dipakai oleh 35.000 para pekerja di Sony.
Soichiro
Ada juga Soichiro, seorang kakek 78 tahun. Dia lah pendiri Honda Motor. Sebelum perang dunia meletus, ia pernah menjadi montir biasa di negaranya. Namun kini, sebagai pendiri sebuah perusahaan besar, namun ia tetap mengenakan seragam karyawan biasa bila sedang bekerja. Ia adalah pendiri sekaligus yang turut meletakkan dasar perusahaan besar itu. Sekarang ia membawahi 23.000 buruh pada 43 perusahaan di 28 negara yang enam diantaranya ada di Jepang sendiri.
Ia memperlakukan anak buahnya dengan penuh penghormatan. Setiap karyawannya diberi kepercayaan total dan tanggung jawab pribadi atas apa yang dihasilkannya. Dan inilah kunci sukses perusahaan besar Jepang ini. Lain halnya dengan perusahaan Indonesia, yang malah berupaya agar karyawan dan buruhnya tetap miskin dan tidak boleh maju.
Sebagai seorang pemimpin, Soichiro tidak memiliki harta pribadi, apalagi warisan tujuh turunan. Lihat saja, ia tinggal di sebuah rumah sederhana. Kegemarannya hanya melukis di atas kain sutra dan berolahraga golf. Bila dihitung, barangnya yang berharga hnaya sebuah helikopter dan mobil biasa untuk membawanya kemana-mana. Kemanakah penghasilannya itu disimpan? Penghasilannya tidak disimpan tapi dipakai untuk penelitian dan beasiswa bagi orang muda di negaranya. Lalu bagaimana dengan warisan untuk anak-anaknya?
"Saya tidak mewariskan harta apapun untuk mereka," ujar Soichiro. "Warisan yang paling berharga yang saya berikan untuk mereka adalah dengan membiarkan mereka untuk sanggup berusaha sendiri," ujarnya lagi.
Ada juga Soichiro, seorang kakek 78 tahun. Dia lah pendiri Honda Motor. Sebelum perang dunia meletus, ia pernah menjadi montir biasa di negaranya. Namun kini, sebagai pendiri sebuah perusahaan besar, namun ia tetap mengenakan seragam karyawan biasa bila sedang bekerja. Ia adalah pendiri sekaligus yang turut meletakkan dasar perusahaan besar itu. Sekarang ia membawahi 23.000 buruh pada 43 perusahaan di 28 negara yang enam diantaranya ada di Jepang sendiri.
Ia memperlakukan anak buahnya dengan penuh penghormatan. Setiap karyawannya diberi kepercayaan total dan tanggung jawab pribadi atas apa yang dihasilkannya. Dan inilah kunci sukses perusahaan besar Jepang ini. Lain halnya dengan perusahaan Indonesia, yang malah berupaya agar karyawan dan buruhnya tetap miskin dan tidak boleh maju.
Sebagai seorang pemimpin, Soichiro tidak memiliki harta pribadi, apalagi warisan tujuh turunan. Lihat saja, ia tinggal di sebuah rumah sederhana. Kegemarannya hanya melukis di atas kain sutra dan berolahraga golf. Bila dihitung, barangnya yang berharga hnaya sebuah helikopter dan mobil biasa untuk membawanya kemana-mana. Kemanakah penghasilannya itu disimpan? Penghasilannya tidak disimpan tapi dipakai untuk penelitian dan beasiswa bagi orang muda di negaranya. Lalu bagaimana dengan warisan untuk anak-anaknya?
"Saya tidak mewariskan harta apapun untuk mereka," ujar Soichiro. "Warisan yang paling berharga yang saya berikan untuk mereka adalah dengan membiarkan mereka untuk sanggup berusaha sendiri," ujarnya lagi.
Inamori
Kyoto Ceramics adalah salah satu pabrik pembuat microchips (elemen-elemen kecil komputer) yang paling kuat di dunia. Omset Kyoto Ceramics 400 juta dolar dan menghasilkan keuntungan luar biasa, 12% setelah dipotong pajak.
Ada tujuh buah perusahaan di Amerika Serikat dan tiga di Jepang. Inamori sang pemimpin, seperti juga Soichiro Honda dan Kaku pemimpin Canon, menganggap dirinya sebagai karyawan biasa. Selisih gaji direktur dan buruh baru di Jepang lebih kecil bila dibandingkan dengan di Eropa dan Amerika Serikat. Cara hidup pemimpin Jepang sangat sederhana dibanding dengan rekan-rekan di Barat. Rasanya mereka memandang rendah kemewahan. Suatu barang harus ada fungsinya. Bagaimana mereka bisa memegang prinsip sebaik itu?
Mari kita menengok ke Gamo, salah satu pabrik keramik di Kyoto. Kurang lebih 50 kilometer dari Kyoto. Di sini pada pukul delapan pagi seluruh karyawan Gamo berkumpul dalam ruang-ruang besar. Dari tiap ruang, di atas sebuah panggung seorang laki-laki meneriakkan: berdiri, bersiap, luruskan kaki dan istirahat. Ratusan laki-laki dan perempuan dalam seragam biru berdiri siap. Laki-laki lalu melaporkan hasil pekerjaan bulan lalu dan menambahkan delapan pesan produksi, tentang mutu, penurunan ongkos dan sebagainya.
Selesai laporan, dia memanggil lima orang maju ke depan. Mereka diberi hadiah, karena telah menyumbangkan gagasan yang paling baik, pada bulan sebelumnya. Di semua perusahaan Jepang, para insinyur dan buruh diundang menyumbangkan gagasan untuk lebih memajukan produktivitas, keamanan dan semua bidang yang berkaitan dengan kehidupan perusahaan.
Kyoto Ceramics adalah salah satu pabrik pembuat microchips (elemen-elemen kecil komputer) yang paling kuat di dunia. Omset Kyoto Ceramics 400 juta dolar dan menghasilkan keuntungan luar biasa, 12% setelah dipotong pajak.
Ada tujuh buah perusahaan di Amerika Serikat dan tiga di Jepang. Inamori sang pemimpin, seperti juga Soichiro Honda dan Kaku pemimpin Canon, menganggap dirinya sebagai karyawan biasa. Selisih gaji direktur dan buruh baru di Jepang lebih kecil bila dibandingkan dengan di Eropa dan Amerika Serikat. Cara hidup pemimpin Jepang sangat sederhana dibanding dengan rekan-rekan di Barat. Rasanya mereka memandang rendah kemewahan. Suatu barang harus ada fungsinya. Bagaimana mereka bisa memegang prinsip sebaik itu?
Mari kita menengok ke Gamo, salah satu pabrik keramik di Kyoto. Kurang lebih 50 kilometer dari Kyoto. Di sini pada pukul delapan pagi seluruh karyawan Gamo berkumpul dalam ruang-ruang besar. Dari tiap ruang, di atas sebuah panggung seorang laki-laki meneriakkan: berdiri, bersiap, luruskan kaki dan istirahat. Ratusan laki-laki dan perempuan dalam seragam biru berdiri siap. Laki-laki lalu melaporkan hasil pekerjaan bulan lalu dan menambahkan delapan pesan produksi, tentang mutu, penurunan ongkos dan sebagainya.
Selesai laporan, dia memanggil lima orang maju ke depan. Mereka diberi hadiah, karena telah menyumbangkan gagasan yang paling baik, pada bulan sebelumnya. Di semua perusahaan Jepang, para insinyur dan buruh diundang menyumbangkan gagasan untuk lebih memajukan produktivitas, keamanan dan semua bidang yang berkaitan dengan kehidupan perusahaan.
Di Canon, setahun yang lalu, masuk sekitar 146.242 gagasan yang ternyata
dapat menghemat lebih dari tujuh juta yen! Sebulan sekali mereka
berkumpul, memberi laporan pekerjaan selama ini, bertukar pengalaman dan
mutu pekerjaan mereka. Hadiah bagi gagasan mereka yang terpilih antara
lain medali, jam tangan, tiket kereta atau pesawat terbang. Yang kurang
berinisiatif tak akan mendapat apa-apa. Tak pernah terjadi seseorang
mendapat sanksi negatif.
Setiap pekerja memiliki saham dan dividen dari perusahaan. Benar-benar merupakan perwujudan demokrasi yang didasarkan pada penghargaan hasil kerja dan atas hierarkinya. Di Jepang, persaingan ditumbuhkan sejak kanak-kanak. Keluaran sekolah bereputasi tinggi lebih mudah mendapatkan pekerjaan yang baik.
Di tiap perusahaan ada serikat buruh, yang setiap tahunnya mengorganisir pemogokan untuk memperoleh kenaikan gaji yang disebut Shunto. Tetapi Shunto ini cuma suatu upacara tradisi, bukan pemogokan seperti layaknya di Barat.
Setiap pekerja memiliki saham dan dividen dari perusahaan. Benar-benar merupakan perwujudan demokrasi yang didasarkan pada penghargaan hasil kerja dan atas hierarkinya. Di Jepang, persaingan ditumbuhkan sejak kanak-kanak. Keluaran sekolah bereputasi tinggi lebih mudah mendapatkan pekerjaan yang baik.
Di tiap perusahaan ada serikat buruh, yang setiap tahunnya mengorganisir pemogokan untuk memperoleh kenaikan gaji yang disebut Shunto. Tetapi Shunto ini cuma suatu upacara tradisi, bukan pemogokan seperti layaknya di Barat.
Robot membuat robot
Di kaki Gunung Fuji ada robot membuat robot. Robot-robot itu bekerja dengan diam-diam. Beberapa manusia membaca lembaran kertas besar yang keluar dari terminal robot.
Di Honda Motor Cie, di sebuah dusun dekat Tokyo, kita bisa melihat mobil yang di-assembling oleh robot, yang mematri 160 kali setiap detiknya. Grup-grup yang terdiri dari lima atau enam buruh memeriksa hasil kerja robot. Setiap buruh diizinkan menghentikan pekerjaan dengan cara menekan tombol merah, bila ada yang kurang beres.
Hasilnya: pada produksi akhir hanya ada 0,1% yang apkir, dibanding dengan 20% di Eropa. Di Sony, semua karyawannya teliti. Para majikan di Eropa memimpikan pabrik mereka bisa menyamai Jepang, dan mendambakan buruh-buruh yang serupa pula.
Di perusahaan Canon, Tuan Kaku yang adalah presiden direkturnya itu dan para buruhnya, saling menundukkan kepala mereka sama dalamnya. Percakapan antara mereka bisa membuat heran telinga-telinga Perancis.
Tuan Kaku menjelaskan secara mendetil target keuangan dan tehnik yang ingin dicapai perusahaan. Kepala serikat buruh Canon meyakinkan majikannya, keberhasilan Canon merupakan satu kepuasan bagi seluruh karyawan dan mereka ingin bekerja sama sepenuhnya bersama direksi.
Majikan-majikan Eropa sangat kagum melihat modernisasi Jepang. Kagum bukan hanya karena melihat sindikat-sindikat buruh dapat bekerja sama begitu baik dangan majikannya, tetapi juga melihat para majikan yang tak pernah memecat buruhnya itu.
Mereka melihat suatu industri di mana otomatisasi tidak menciptakan pengangguran, dan setiap buruh mau dan dapat memahami apa pun yang mereka lakukan. Mereka juga mendapat penjelasan mengenai jalannya perusahaan. Yang nampak di depan mereka adalah sebuah dunia, di mana disiplin yang mirip disiplin militer itu dapat berjalan berdampingan dengan rasa hormat pada setiap individu. Inilah rahasia kemajuan Jepang.
Adrian Harahap adalah seorang mahasiswa pascasarjana pada Kyoto University. Sekarang bekerja di salah satu perusahaan baja di Jepang. Walaupun masih 6 tahun lagi baru bisa pindah ke Indonesia lagi, namun cita-citanya ingin membuka perusahaan di Indonesia. Kunjungi blog:
Di kaki Gunung Fuji ada robot membuat robot. Robot-robot itu bekerja dengan diam-diam. Beberapa manusia membaca lembaran kertas besar yang keluar dari terminal robot.
Di Honda Motor Cie, di sebuah dusun dekat Tokyo, kita bisa melihat mobil yang di-assembling oleh robot, yang mematri 160 kali setiap detiknya. Grup-grup yang terdiri dari lima atau enam buruh memeriksa hasil kerja robot. Setiap buruh diizinkan menghentikan pekerjaan dengan cara menekan tombol merah, bila ada yang kurang beres.
Hasilnya: pada produksi akhir hanya ada 0,1% yang apkir, dibanding dengan 20% di Eropa. Di Sony, semua karyawannya teliti. Para majikan di Eropa memimpikan pabrik mereka bisa menyamai Jepang, dan mendambakan buruh-buruh yang serupa pula.
Di perusahaan Canon, Tuan Kaku yang adalah presiden direkturnya itu dan para buruhnya, saling menundukkan kepala mereka sama dalamnya. Percakapan antara mereka bisa membuat heran telinga-telinga Perancis.
Tuan Kaku menjelaskan secara mendetil target keuangan dan tehnik yang ingin dicapai perusahaan. Kepala serikat buruh Canon meyakinkan majikannya, keberhasilan Canon merupakan satu kepuasan bagi seluruh karyawan dan mereka ingin bekerja sama sepenuhnya bersama direksi.
Majikan-majikan Eropa sangat kagum melihat modernisasi Jepang. Kagum bukan hanya karena melihat sindikat-sindikat buruh dapat bekerja sama begitu baik dangan majikannya, tetapi juga melihat para majikan yang tak pernah memecat buruhnya itu.
Mereka melihat suatu industri di mana otomatisasi tidak menciptakan pengangguran, dan setiap buruh mau dan dapat memahami apa pun yang mereka lakukan. Mereka juga mendapat penjelasan mengenai jalannya perusahaan. Yang nampak di depan mereka adalah sebuah dunia, di mana disiplin yang mirip disiplin militer itu dapat berjalan berdampingan dengan rasa hormat pada setiap individu. Inilah rahasia kemajuan Jepang.
Adrian Harahap adalah seorang mahasiswa pascasarjana pada Kyoto University. Sekarang bekerja di salah satu perusahaan baja di Jepang. Walaupun masih 6 tahun lagi baru bisa pindah ke Indonesia lagi, namun cita-citanya ingin membuka perusahaan di Indonesia. Kunjungi blog:
0 comments:
Post a Comment